Salatiga sebagai Kota Gastronomi

Saya lahir dan tinggal di kota Salatiga, sejak kecil akrab dengan berbagai kuliner karena merupakan makanan sehari-hari. Sarapan dengan bubur tumang koyor, makan siang dengan gudeg telur makan malam dengan nasi goreng. Selain itu setiap ada hidangan dan oleh-oleh pasti tidak lupa menncicipi enting-enting gepuk, gulo kacang, ampyang dan masih banyak lagi jajanan lain. Hari ini membaca media sosial bahwa Salatiga sebagai kota gastronomi.

Sekarang Salatiga menuju kota gastronomi, tahukah anda kenapa sekarang telinga kita mendadak akbrab dengan istilah gastronomi. Kenapa disebut kota gastronomi bukan kota kuliner. Merilis dari website kemenkraf bahwa perbedaan itu merujuk pada pengertian yang lebih luas lagi. Gastronomi melihat makanan dilihat dari sejarah, asal-usul, seni penyajian sampai menghidangkan kemudian juga memberikan info tentang kandungan gizi yang terkandung pada makanan tersebut.

Sedangkan untuk istilah kuliner itu lebih sempit yaitu fokus melihat makanan dari proses memasak sampai menghidangkan. Sehingga ketika Salatiga menuju kota Gastronomi, dilihat dari berbagai aspek, Kota Salatiga dianggap sebagai kota yang ideal sebagai Kota Gastronomi di Indonesia. Pemilihan Salatiga sebagai Kota Gastronomi bukan tanpa alasan. Jika dilihat dari segi lokasi, Salatiga sangat strategis untuk dikunjungi wisatawan.Salatiga diapit tiga kota penting di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, yakni Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta.

Sementara dari segi keindahan, Salatiga juga tidak kalah cantik. Bahkan, semasa pemerintahan kolonial Salatiga dijuluki: Salatiga Dea Schoonnste Staad Van Midden Java, atau Salatiga Kota Terindah di Jawa Tengah.Selain itu, Salatiga juga telah lama menjadi rumah dari keragaman suku dan etnis, sehingga memiliki kekuatan tersendiri dalam hal kuliner. Ada berbagai sajian khas yang menjadi andalan Kota Salatiga, di antaranya sate sapi suruh, opor bebek, soto esto, gecok kambing, ronde sekoteng, enting-enting gepuk, dan sajian khas Salatiga yang ikonik adalah tumpang koyor.“Salatiga merupakan kota tertua kedua di Indonesia, berumur 1271 tahun. Jadi, akan banyak sekali makanan yang sudah ada sejak dulu dan sangat bisa untuk dilihat dari sisi gastronomi yang mendukung  pencalonan UCCN Gastronomy Heritage.

Menurut bukti sejarah, dalam naskah Serat Centhini, resep tumpang koyor ini telah ada sejak 1814. Tumpang koyor merupakan sup tradisional yang terdiri dari tahu, tempe, atau hidangan berbasis kedelai, serta bumbu khas lainnya.Resep-resep tersebut pun telah diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itu, keunikan cita rasa dari tumpang koyor tidak perlu diragukan lagi. Dengan kata lain, menjadikan Salatiga sebagai Kota Gastronomi juga sebagai bentuk upaya melestarikan resep warisan nusantara yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.Salatiga tidak hanya memiliki potensi dalam hal kuliner, namun juga keberagaman.

Salatiga menjadi tempat berbaurnya 196.082 orang dengan beragam etnis. Populasi multietnis inilah yang membuat potensi gastronomi di Salatiga sangat tinggi.Dalam bidang sosial budaya, hingga saat ini akulturasi di Salatiga masih terus berlangsung. Hal ini membuat masyarakatnya semakin menghargai keberagaman dan toleransi. Penerimaan akan keberagaman juga bisa menjadi kabar baik bagi wisatawan yang akan berkunjung, dan menyaksikan langsung keramahan masyarakatnya.Potensi kota Salatiga juga tidak bisa dilepaskan dari prestasi-prestasi yang telah ditorehkannya. Salatiga pernah mendapatkan predikat sebagai Kota Paling Toleran se-Indonesia, Kota Ramah Anak, Kota Ramah HAM, dan penghargaan lainnya.

sumber: kemenparekraf.go.id

BACA JUGA: Perbedaan Kuliner VS Gastronomi

Semoga bermanfaat.

Berita Terkait