Satu Juta Guru PPPK

Kebijakan Pemerintah dalam pengadaan 1 juta guru PPPK, patut diberikan apresiasi. Mengingat dalam berbagai kesempatan Rapat Kerja DPR RI, baik di Komisi II, Komisi X, dan Komisi Gabungan Pemerintah sering ditagih progres penyelesaian tenaga honorer, yang berujung wakil rakyat tersebut mengusulkan revisi terhadap UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dengan menambahkan pasal khusus yaitu “tenaga honorer, tenaga harian lepas, atau tenaga lain yang sejenis dapat diangkat secara langsung/tanpa melalui proses seleksi menjadi CPNS, tidak hanya guru”. Hal ini menggambarkan bahwa permasalahan tenaga honorer (termasuk guru) sudah sejak lama menjadi permasalahan nasional, dan menjadi beban “politik” pemerintah, baik pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan era Presiden Joko Widodo.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan bahwa keberadaan tenaga honorer guru, termasuk honorer lainnya masih dimungkinkan sampai dengan akhir Nopember 2023. Artinya Pemerintah mempunyai kesempatan paling lama 3 tahun untuk menyelesaikan tenaga honorer guru dimaksud. Namun sangat disayangkan, pengadaan 1 juta guru PPPK tersebut belum termasuk kebutuhan guru agama pada sekolah-sekolah di lingkup Kementerian Agama dan kebutuhan guru agama yang ada di sekolah-sekolah negeri di Pemerintah Daerah yang kewenangannya ada di Gubernur, Bupati dan Walikota. Materi atau substansi seleksi pengadaan guru PPPK, berbeda dengan seleksi guru CPNS, yaitu seleksi administrasi, seleksi kompetensi (sosio kultural, manajerial, dan teknis). Terhadap peserta seleksi yang dinyatakan lulus tes kompetensi, selanjutnya diikutkan tes wawancara menggunakan CAT (untuk mengetahui moralitas dan integritas dari calon peserta). Hasil tes wawancara tersebut, dapat berpengaruh dalam penentuan kelulusan akhir, meskipun peserta seleksi sudah dinyatakan lulus administrasi dan lulus seleksi kompetensi. Materi seleksi yang demikian, tentu saja belum “familier” bagi tenaga honorer sehingga menjadi permasalahan tersendiri, dan berujung tidak berhasilnya mereka memenuhi passing grade/tidak lulus.

Faktor penyebab kekurangan guru.

  1. Perpindahan guru yang tidak terkendali, dengan kata lain terjadi “mismanageable” pengelolaan guru. Terjadinya pengelolaan guru yang demikian, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah adanya “invisible-hand”. Faktor ini sangat dominan mempengaruhi bahkan sampai “menekan” para Gubernur, Bupati/Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN dalam posisi yang “dilematis” untuk tidak mengabulkan bila ada usulan perpindahan guru dari sekolah- sekolah yang ada di daerah terpencil, terluar dan tertinggal ke sekolah-sekolah yang ada di perkotaan;
  2. Masalah “kesejahteraan” antara guru yang mengajar di perkotaan dan yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal;
  3. Sebagian besar guru PNS adalah kaum wanita, yang tidak jarang pula sebagai isteri/anggota keluarga dari TNI/Polri dan pejabat/pegawai pemerintah lain;
  4. Adanya kebijakan pemekaran wilayah Kabupaten, yang berimplikasi harus dibangun sekolah- sekolah baru, yang kerap tidak diikuti dengan perencanaan kebutuhan/pengadaan tenaga gurunya.
  5. Adanya pengangkatan guru PNS ke dalam jabatan struktural yang kompetensinya tidak bersesuaian dengan jabatan yang diduduki;
  6. Adanya perbantuan/penugasan guru PNS pada sekolah-sekolah swasta;
  7. Formasi yang ditetapkan setiap tahun oleh Pemerintah tidak berbanding lurus dengan kebutuhan sekolah yang diusulkan oleh PPK Daerah.

Solusi untuk mengatasi masalah kekurangan guru.

  1. Diberikan afirmasi dalam penetapan kriteria kelulusan terhadap guru honorer, seperti memperhitungkan masa kerja sebagaimana diminta oleh forum-forum guru honorer (Kompas, 12 Maret 2021), bahkan lebih dari itu perlunya diberikan afirmasi tambahan bagi guru honorer yang mempunyai sertifikasi, terlebih lagi bagi guru honorer kategori disabilitas yang juga mempunyai sertifikasi. Apabila tidak diberikan afirmasi, dikhawatirkan para honorer guru tersebut tidak bisa memenuhi passing grade dan dinyatakan tidak lulus. Mengingat sebagian besar dari mereka dapat saja tidak optimal dalam mengapdate pengetahuan/ kompetensinya, menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, apalagi honorer guru yang telah lama mengajar di daerah terpencil, terluar dan tertinggal;
  2. Terhadap PPPK yang belum merespon, agar didorong atau “dipaksa” mengusulkan formasi dalam pengadaan guru PPPK tahun 2022. Dalam hal ketidak-tersediaan anggaran untuk pemberian “tunjangan” guru PPPK, sebenarnya dapat dilakukan dengan mengefisienkan pengeluaran anggaran “rutin” dengan cara mengurangi besaran Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang sudah diberikan kepada para pejabat dan semua PNS yang ada. Cara yang lain mengurangi anggaran biaya perjalanan dinas dengan melakukan pembatasan jumlah personil yang akan melakukan perjalanan dinas baik ke Instansi Pusat maupun ke Instansi Daerah lain, apalagi kegiatannya “hanya” sebatas studi banding, konsultasi, dan lain sebagainya yang sebenarnya bisa diperoleh  dengan cara tele-conference.
  3. Ditetapkan regulasi yang mengatur larangan perpindahan guru PPPK dari satu sekolah ke sekolah lain, dan terhadap PPK yang masih menyetujui perpindahan guru PPPK dengan alasan apapun diberikan sangsi yang tegas. Pentingnya penetapan regulasi ini agar tidak terulang lagi perpindahan guru dari sekolah-sekolah di daerah terpencil, terluar, tertinggal ke sekolah- sekolah yang ada di perkotaan sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Diharapkan dengan regulasi tersebut menjadi dasar atau dapat membentengi PPK Daerah untuk tidak mengabulkan permohonan pindah meskipun dipengaruhi/ditekan oleh faktor invisible-hand. Bentuk regulasi, cukup dengan SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri PANRB, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, bila memungkinkan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Pemerintah);
  4. PPK Daerah diminta menetapkan kebijakan lokal dalam bentuk pemberian insentif tambahan (tunjangan kemahalan) terhadap guru PPPK yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan mengajar secara penuh di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal;
  5. Khusus permasalahan belum terakomodirnya kebutuhan guru agama, baik kebutuhan di sekolah-sekolah negeri di lingkungan Pemerintah Daerah maupun di lingkungan Kementerian Agama sendiri, dari sisi waktu masih dimungkinkan, dengan catatan Kementerian Agama mampu memetakan kebutuhan per sekolah dan memetakan guru honorer. Apabila tidak bisa dimasukkan dalam gerbong pengadaan 1 juta guru PPPK, Kementerian Agama segera merencanakannya secara komprehansif untuk pengadaan tahun 2022. Perencanaan tersebut, selanjutnya dibahas bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri PAN-RB, Menteri Dikbud dan BKN.

(Arizal, Analis kebijakan Utama pada Kedeputian SDM Aparatur Menpan)

sumber: kemdikbud.go.id

Berita Terkait