Sekolah Ramah Anak Pengelolaan Lingkungan Non Fisik

Konsep Dasar Sekolah Ramah Anak dalam Konteks Pendidikan Inklusif

Konsep Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya, selama anak berada di satuan pendidikan, serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran dan pengawasan. Secara konseptual Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan mekanisme pengaduan (Permen PP dan PA Nomor 8 Tahun 2014). Sekolah Ramah Anak adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus. 

Secara umum, prinsip utama sekolah ramah anak adalah bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pembentukan dan Pengembangan Sekolah ramah anak (SRA) didasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak, dan pengelolaan yang baik. (Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus, 2019)

Situasi dan Suasana Pembelajaran

Situasi dan suasana pembelajaran yang ramah anak dan dilandasi nilai-nilai kebersamaan merupakan bagian penting dalam konteks akomodasi lingkungan non fisik di sekolah inklusif. Untuk mewujudkan nilai-nilai kebersamaan dalam seting sekolah inklusif, diperlukan suatu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan (Togetherness Values) dalam aktivitas pembelajaran maupun kegiatan di luar pembelajaran, seperti kegiatan ekstrakurikuler, bahkan dalam momen bermain bebas saat waktu istirahat. Dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk dapat memberikan makna terjadinya proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada setiap aktivitas peserta didiknya. 

Manakala nilai-nilai kebersamaan dapat di internalisasikan  di SPPI, maka sekolah inklusif akan memberikan peran sebagai agen perubahan terwujudnya masyarakat inklusif sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Situasi dan suasana pembelajaran yang dibangun diatas keberagaman tetapi menuju kearah tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan Pendidikan yang berkualitas sesuai kakarkeristik dan kebutuhan individu peserta didik dengan menempatkan nilai kebersamaan sebagai nilai intinya (Core value). 

Berdasarkan kajian terhadap komponen program (Stainback, 1990:23), aktivitas pembelajaran (Unesco, 1998), layanan pembelajaran (Johnsen dan Skojen, 2001:5), respon terhadap keragaman peserta didik (Lynch, dalan Budiyanto, 2005 : 42-46), dan pola pembelajaran, dapat dirumuskan indikator nilai-nilai kebersamaan yang mewarnai situasi dan suasana pembelajaran dalam praktik penyelenggaraan sekolah inklusif sebagai berikut:

  1. Sekolah menyediakan program yang layak, menantang, dan aksesible untuk semua peserta didik, dengan tetap memperhatikan aspek kebutuhan khusus pada setiap individu;
  2. Setiap peserta didik, termasuk di dalamnya ABK, memiliki suasana yang damai dan harmoni dalam melakukan aktivitas pembelajaran dan aktivitas lainnya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial;
  3. Aktivitas pembelajaran di sekolah inklusif berbasis pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi maunia, dan pembangunan berkelanjutan;
  4. Adanya kepekaan sosial dan kesiapan akademis dari warga sekolah untuk senantiasa meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran bagi setiap peserta didik yang berbasis pada analisis kebutuhan individu;
  5. Sekolah harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda;
  6. Pola pembejaran yang dilakukan di sekolah inklusif berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak (Teaching Base of Students Centre);
  7. Pola pembelajaran yang berbasis pada pola kolaboratif yang sistemik, yang melibatkan peran dari kepala sekolah, guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat. (Hermansyah, 2014).

Manajemen/Pengelolaan Kelas (Classroom Management)

Manajemen kelas inklusif dirancang agar pembelajaran dalam kelas inklusif yang heterogen dapat berjalan secera efektif.  Adanya peserta didik  yang berkebutuhan khusus di sekolah inklusi berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen, tidak hanya pada level sekolah, tetapi juga pada manajemen kelas. Pembelajaran di sekolah inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan ABK menuntut perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan pada keberagaman kebutuhan peserta didik.  Oleh karena itu, pengelolaan kelas di sekolah inklusif menjadi hal yang sangat penting dalam tataran implementasi pendidikan inklusif. Pemahaman yang baik terhadap pengelolaan kelas akan dapat meminimalisir permasalahan yang dialami oleh guru kelas dalam mengelola kelas yang heterogen.

Pembelajaran yang bermakna bukan saja hanya mengajar, bukan saja penyampaian informasi/pesan tetapi juga meliputi perkembangan pribadi siswa, interaksi sosial serta penanaman sikap dan nilai pada diri siswa. Proses belajar yang bermakna akan terwujud dalam kondisi, suasana iklim kelas yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar peserta didik yang diharapkan.

Pengelolaan kelas disekolah lnklusif adalah serangkaian aktivitas dan kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran mulai dari perencanaan proses pembelajaran, metode, strategi dan pendekatan serta evaluasi pembelajaran. Manajemen kelas inklusif dirancang untuk  tercipta kelas yang kondusif, aktif, kreatif, kooperatif dan menyenangkan melalui penciptaan lingkungan kelas yang kondusif, iklim dan suasana psiko sosial dan emosi yang positif, serta penciptaan sistem sosial yang memungkinkan anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian manajemen atau pengelolaan kelas inklusif pada dasarnya merupakan implementasi dari prinsif-prinsif pembelajaran yang harus mewarnai suasana pembelajaran.

Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan  peserta didik serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan. SPPI dalam dimensi pengelolaan kelas inklusif perlu melakukan berbagai pembenahan diantaranya sebagai berikut:

  1. Guru harus mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;
  2. Sekolah harus siap mengelolaa kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual;
  3. Guru harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;
  4. Guru pada SPPI dituntut mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;
  5. Guru pada SPPI dituntut mampu melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan.

Pada proses pembelajaran di sekolah inklusif, PDBK disamping belajar secara klasikal dengan teman-teman sebayanya di dalam kelas, juga mendapatkan layanan bembelajaran individual sesuai kajian hasil asesmen akademik dan non akademik. Proses pembelajaran individual ini biasa disebut dengan istilah One to One Teaching yang sesi belajarnya dilakukan di ruang khusus pembelajaran individual. 

Prinsip-prinsip pengelolaan kelas inklusif  untuk berlangsungnya pembelajaran yang kondusif secara umum sama dengan prinsip pengelolaan pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum, juga diharuskan memiliki kemampuan menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ABK.

sumber: Modul 1 Bimtek Guru Pembimbing Khusus Dirjen GTK

Berita Terkait