Sesaat setelah mengajar pada jam terakhir dan waktu pulang masih 10 menit saya gunakan untuk membuka Facebook. Tampilan pertama diunggah oleh salah satu saudara yang menulis tentang fenomena nama anak-anak di salah satu Sekolah Dasar lengkap dengan unggahan foto daftar nilai untuk lebih menarik. Karena sekolah tersebut adalah sekolah swasta islami maka nama-nama yang tertulis dalam daftar tersebut adalah nama-nama anak yang berbau Islam tentunya.
Distatus tersebut ditulis tentang opini yang membenarkan ulasan sebuah web tentang semakin jarangnya anak-anak Indonesia memakai nama Indonesia seperti Budi, Toni, Yuni dsb. Karena postingan diunggah di saat situasi perpolitikan Indonesia baru saja terlepas dari peristiwa Pilkada DKI yang sarat dengan isu SARA maka kolom komentarpun dibanjiri dengan berbagai komentar yang terpecah menjadi dua kubu. Disaat itulah saudara saya yang tidak punya tendensi apapun ketika mengunggah daftar nama anak-anak tersebut kewalahan menanggapi berbagai komentar yang semakin out of topic. Dan pada puncaknya saudara saya akhirnya menghapus unggahan tersebut karena takut sesuatu akan terjadi menimpanya disebabkan sekolah tempat dia mengajar ikut terseret dalam berbagai komentar dibawah posting tersebut.
Peristiwa yang dialami saudara saya itu adalah salah satu contoh bagaimana kita harus berhati-hati dalam setiap unggahan apapun yang kita tulis maupun kita bagi di media sosial. Karena setiap apa yang kita tulis ada bahaya di belakangnya. Beberapa waktu yang lalu seorang teman di sidang di tempat kerjanya karena salah satu unggahannya dianggap menyinggung satu institusi pemerintahan, walaupun sebenarnya maksud teman tersebut unggahannya bersifat kritikan tetapi ketika kritikan itu membawa nama lembaga maka masalahnya menjadi lain. Bahkan ketika kita mengunggah kegiatan yang positifpun maka tidak semua orang akan menyambut baik apalagi kalau unggahan tersebut bersifat negatif maka perang opini di kolom komentar pasti aakan sangat ramai.
Kondisi media sosial saat ini dengan beberapa tahun yang lalu sudah berbeda. Kalau dulu kita membuat Facebook tujuannya adalah menemukan teman lama yang tercecer dan agar tetap bisa berhubungan sekarang lihatlah bagaimana Facebook sudah kehilangan tujuan awal dulu kita membuatnya. Berita-berita provokatif begitu banyak dengan komentar yang juga tidak kalah hebohnya. Belum lagi dengan berbagai hoax yang terus membanjiri timeline kita.
Berbicara tentang hoax tentu tidak lepas dari peran media sosial sebagai salurannya. Dari berbagai media sosial maka Wattaspp terindikasi merupakan media sosial yang paling banyak dijadikan media penyebaran hoax. Sedangkan kalau mau melihat berbagai isu panas tentang kondisi Indonesia saat ini terutama kondisi perpolitikan maka Twitter adalah tempatnya. Setelah itu baru Facebook sebagai luberannya, jadi isu yang ramai di Twitter biasanya juga ramai di Facebook.
Segala sesuatu yang terunggah di media sosial semuanya meninggalkan jejak digital. Jangan menyangka bila kita sudah menghapus di timeline kita maka postingan tersebut akan hilang. Jika seseorang melakukan screenshot maka postingan kita akan menjadi viral jika ada pihak berkentingan yang memanfaatkannya.
Nah mulai sekarang kita harus bijak dalam menggunakan media sosial karena ibaratnya media sosial itu rimba belantara maka bahaya yang tidak kita duga sewaktu-waktu bisa mengincar kita, Postinglah yang baik-baik saja jangan ikut memposting sesuatu yang terindikasi hoax apalagi sudah tahu kalau itu hoax tapi kita ikut membagikannya. Jika akan mengkritik sesuatu pilihlah media yang lebih pas untuk menuliskan segala uneg-uneg kita semisal kolom surat pembaca atau rubric opini di berbagai media massa lokal ataupun nasional. Media sosial berupa blog juga bisa sebagai sarana bagi kita untuk menuliskan segala sesuatu yang menjadi keprihatinan kita terhadap kondisi di sekitar kita.
Salatiga, 13 januari 2018