Pagi itu sesaat setelah aku meletakan tas di meja guru, tampak dari kejauhan Putri berjalan menuju kea rah mejaku.
“Bu, Andika ga masuk lagi sudah 5 hari tanpa keterangan”
“Kamu tahu kemana dia pergi”
“Tidak bu, tapi Tegar kata Oki setiap hari bermain game online di warnet dekat pom bensin”
tidak berapa lama kemudian terdengar bunyi bel,
Teeeeetttttt…
Bel masuk berdering sangat keras, tampak dari kejauhan anak-anak berlarian masuk ke pelataran sekolah sebelum pintu gerbang ditutup oleh pak satpam.
“Bagaimana ini bu, jumlah alpha si Andhika sudah mencapai 7 kali dalam semester ini”
“Baiklah, Ibu terima laporanmu dan terima kasih sudah memberi info tentang Andika, sekarang sudah bel kamu masuk dulu, pelajaran akan segera dimulai”
“Baik bu” Putri bergegas keluar dari kantor guru yang mulai riuh oleh suara-suara guru diruangan tersebut.
Setelah mendengar laporan putri, ingatanku melayang pada peristiwa 5 hari yang lalu. Salah seorang staf Tata Usaha mengabarkan lewat WA kalau surat panggilan orang tua atas nama Andika sudah jadi. Keesokan harinya melalui surat panggilan resmi yang ditujukan kepada orang tua atau wali maka nenek Andika selaku wali datang ke sekolah. Beliau datang dengan penampilan yang sangat sederhana dengan kain jarik yang lusuh dan kebaya broklat hitam yang sudah sobek di lengan kirinya.
Sebuah penampilan yang menyedihkan bagi siapa saja yang bertemu dengannya. Tanpa banyak basa-basi kujelaskan alasan pihak sekolah memanggil orang tua atau wali dari Andika, bahwa anak tersebut sudah 4 hari tidak masuk sekolah tanpa keterangan, saat itu Andika juga ada di tengah-tengah kami.
“Kulo niku mboten kurang-kurang le ngandani Andika” (Saya itu tidak bosan-bosannya menasehati Andika”
“Tapi piyembake niku ndableg e ra umum” (Tapi dia itu sangat menjengkelkan)
“Wingi malah nyolong duite kulo seket ewu, padahal duit niku ajeng kangge tumbas beras” (Kemarin malah mencuri uang saya limapuluh ribu, padahal uang itu untuk beli beras”
“Sawise ditinggal ibune kerjo teng Jakarta, bocah niki dadi nakal”(Sejak ditinggal kerja di Jakarta, anak ini jadi nakal)
“La bapak Andika teng pundi mbah” (Bapak Andika pergi kemana mbah)
“Awit bayi, bapae lungo minggat, mbuh neng ndi” (Sejak bayi Andika sudah ditinggal pergi bapaknya)
Seperti kasus-kasus pada umumnya, sudah jelas sekarang tentang latar belakang keluarga Andika. Anak ini bermasalah karena kurang kasih sayang.
Tetttttt…
Bel pergantian pelajaran berbunyi sangat nyaring, menghentikan ingatanku tentang kedatangan nenek Andika. Padahal sejak pertemuan itu, Andika sudah berjanji untuk tidak bolos lagi. tetapi itu hnaya berkangsung dua hari, selebihnya sudah lima hari ini dia tidak kelihatan batang hidungnya di sekolahan.
Berdasarkan linformasi dari Putri tersebut, selanjutnya aku masuk ke kelas Oki dan memintakan ijjin kepada guru yangsedang mengajar saat itu. Bersama Oki aku ingin datang ke tempat permainan game online yang dikatakan Putri. Waktu menunjukan pukul 08.00 pagi ketika kami berdua berboncengan meninggalkan sekolah. Dengan dipandu Oki kami menyusuri jalan-jalan untuk mencari tempat yang kabarnya sudah seminggu ini dijadikan tempat bolos Andika.
Perjalanan kurang lebih 10 menit dan kami tiba di sebuah rumah kecil yang dari depan tampak seperti rumah biasa, tidak ada plang nama atau tanda yang mengatakan kalau ini adalah warnet. Bersama Oki kami masuk ke rumah tersebut, setelah masuk baru terlihat kalau ini adalah warnet yang didalamnya hanya ada 6 bilik sederhana yang didesain duduk lesehan, tempatnya sangat sempit dan sumpek. Kelihatan kalau yang dipake untuk warnet tersebut adalah ruang tamu dari rumah tersebut.
Saat masuk dari ke 6 bilik semuanya penuh oleh pengguna. Dan yang membuat saya bertambah kaget karena semua pengguna tersebut masih berseragam sekolah. Di salah sudut bilik tampak wajah yang tidak asing lagi uaitu wajah Andika yang sedang serius bermain game online tanpa menyadari kedatangan kami.
Dengan perasaan sedih bercampu marah kudatangi blilik Andika dan berdiri didamping bilik. Sesaat setelah itu, dia mendongak k eats dan segera tahu kalau aku bersama dengana Oki sedang mencarinya. Tapa ekspresi, Andika segera menunduk.
“Andika, matikan komputermu dan ikut ibu ke sekolah”
Warnet sederhana tersebut dijaga oleh satu anak muda tanggung. Melihat kedatangn saya, dia tampak cuek saja.
“Mas, mas ini yang punya warnet ya”
“Bukan bu, saya hanya disuruh jaga”
“Ini jam sekolah dan di dalam warnet ini ada 6 anak dengan seragam sekolah, tau artinya apa mas” kataku dengan tajam
“Tidak bu” wajah lempeng pengin ditoyor
“Artinya ke enam anak ini membolos dan mas diam saja” semprot bu guru
“Terus saya harus ngapain bu”
“Masya alloh, mas seharusnya mengusir mereka atau tidak membolehkan mereka bermain pada saat jam pelajaran”
“Kata Bos saya, siapa saja boleh bermain disini” tetap dengan wajah tak berdosa
Waduh menghadapi orang seperti ini, bisa darah tinggi saya. Setelah meminta Andika membayar biaya sewa komputernya, dia saya boncengka ke sekolah bersama Oki.
Setiba di sekolah, Andika saya bawa ke ruangan perpustakaan supaya dia bisa menjelaskan alasan kema saja dia pergi selama 5 hari tersebut.
Berhadapan dengan Andika seperti berhadapan dengan tembok. Dia hanya menjawah dengan anggukan kepala atau gelengan setiap kali ditanya. Karakternya yang pendiam membuat saya kesulitan menginterogasinya.
Sejak kejadian itu, dia tidak masuk sekolah lagi. Beberapa saaat kemudian dengan didampingi pamannya, Andika mengundurkan diri tidak mau sekolah lagi dengan alasan tidak bisa berpikir.
Sejak tulisan ini dibuat, kabar terakhir menyebutkan Andika putus sekolah dan pergi menyusul ibunya ke Jakarta.