Menjadi seorang guru di sekolah pinggiran adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Di SMP saya nilai akademis menjadi suatu hal yang (agak) sulit untuk diraih. Di sini hal penting yang harus diselesaikan adalah masalah motivasi anak dalam belajar. Tidak mudah untuk mereka yang berasal dari latar belakang antimainstrim untuk semangat sekolah. Tidak pernah sarapan, orang tua bekerja di luar negeri, tinggal bersama nenek adalah kenyataan yang biasa dalam kehidupan anak-anak ini. Bayangkan dengan anak dari keluarga normal, berangkat sekolah dengan bau badan yang wangi, diantar jemput, sudah sarapan yang bergizi, di rumah dilimpahi perhatian dan kasih sayang.
Itulah mengapa mengajar anak-anak ini adalah ladang ibadah. Selama kurang lebih 14 tahun mengajar mengejar target nilai tinggi sudah bukan tujuan utama lagi. Tetapi memotivasi agar mereka tetap sekolah adalah PR penting bagi kami para guru. Kondisi keluarga membuat mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. Pulang sekolah harus menggembala kambing, atau mengambil nira bahkan beberapa siswa setiap harinya tidur diatas pukul 24.00 karena membantu jualan orang tuanya.
Permasalahan bolos sekolah, merokok dan kenakalan remaja lainnya menjadi sesuatu hal yang harus segera tertangani. Kegiatan home visit atau berkunjung ke rumah siswa adalah sesuatu hal yang biasa bagi kami. Ketika Presiden mencanangkan generasi emas 2045 sesungguhnya mereka inilah anak-anak yang patut mendapat perhatian lebih untuk menjadi generasi emas tersebut.
Beberapa waktu yang lalu membaca di salah satu portal berita tentang murid yang memberangkatkan guru-gurunya berlibur ke luar negeri. tentu sangat bahagia sekali para guru tersebut. Namun sejatinya kebahagiaan para guru adalah ketika mendengar mantan muridnya sukses dan ketika bertemu berkata “Ibu, saya menjadi sukses seperti sekarang ini karena selalu terngiang-ngiang nasehat Ibu”.
Ketika niat awal mengajar hanya untuk mencari uang maka seorang guru seperti robot yang mengajar tanpa perasaan. Tidak peduli muridnya paham atau tidak yang penting masuk kelas menyampaikan materi dan pulang. Jangan menjadi guru kalau tujuaannya untuk itu karena anak-anak ini lebih butuh guru yang penuh kasih sayang, mendengarkan segala keluh kesah mereka yang tidak pernah mereka dapatkan dirumah. Ya, anak-anak ini hanya ingin didengar dan diperhatikan.
Itulah mengapa profesi guru adalah pekerjaan yang tidak enak bagi orang yang hanya mengejar nilai duniawi tanpa peduli dengan tujuan yang bersifat akherati. Semoga kita semua dihindarkan dari semua itu.
Salatiga, 12 Oktober 2017