PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, pembelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti ―apa yang dimaksud dengan….‖, ―mengapa bisa terjadi….‖, ―bagaimana mengetahuinya…‖ dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang ―konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah‖, ―apa yang harus dilakukan‖ atau ―bagaimana melakukannya‖ dan seterusnya.
Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa/mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa/mahasiswa. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
(1) mengidentifikasi masalah,
(2) mengumpulkan data,
(3) menganalisis data,
(4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
(5) memilih cara untuk memecahkan masalah,
(6) merencanakan penerapan pemecahan masalah,
(7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Tabel 1. Sintaks Problem Based Learning
Fase Aktivitas guru
Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
Fase 2: Mengorganisasi siswa untuk belajar Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi
Fase 3: Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan mencari untuk penjelasan dan pemecahan
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Membantu siswa merencanakan dan menyi-apkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Membantu siswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan selama berlangusungnya pemecahan masalah.
Sumber : I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2016. PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM-BASED LEARNING) dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/ diakses tanggal 28 Juni 2016