Cerpen : Ketika Hati Indah Merekah

Ibu sudah menunggu di meja makan. Pagi itu adalah jadwal ibu untuk kontrol ke Rumah sakit. Sudah seminggu ini kadar gula ibu mencapai angka 250. Angka yang cukup mengkhawatirkan. Ketika ibu divonis mengidap diabetes setahun yang lalu, ibu semakin rajin berolah raga dan menjaga pola makan. Walau obat yang diberikan dokter tidak rutin diminum, ibu punya alasan yang kuat agar tidak tergantung pada obat. Pola hidup sehat yang dianut ibu setahun ini telah membuat kadar gula ibu tetap berada di bawah 200.

Tetapi seminggu ini, tepatnya setelah kedatangan mas Imam, Ibu lebih banyak murung dan mengurung diri di kamar. Rutinitas jalan pagipun tidak lagi dilakukan. Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, entah apa yang dilakukan di dalam kamar. Bukannya Indah tidak mau tahu tetapi setiap kali Indah menanyakan perubahan itu ke Ibu, Ibu selalu menjawab tidak apa-apa.

Sambil berlari kecil, Indah membetulkan kerudungnya yang melorot.Hari ini dia ada jadwal kunjungan ke sebuah sekolah untuk pemeriksaan gigi. Profesi dokter gigi di sebuah puskesmas kota kecil ini mengharuskan Indah pada waktu tertentu melakukan kunjungan rutin untuk pemeriksaan gigi anak-anak sekolah.

“Bu, hari ini Indah pulang agak sore karena ada 2 sekolahan yang harus Indah periksa, nanti pulang dari Rumah Sakit Ibu bisa suruh Jono antar ke taman kota” Indah berkata sambil duduk dimeja makan dan menyendok nasi goreng masakan ibu.

“Ibu mau ke perpustakaan”

Indah menghentikan kunyahannya.

“Ya sudah nanti Jono aku suruh ngantar ke perpustakaan.

 “Kita harus bicara Ndah” tajam ibu berkata kepada Indah.

Indah yang makan sambil baca koran melihat ibu sekilas.

“Inikan sudah bicara bu”

“Ndah, kapan kamu mau menikah?”

Sejenak Indah menghentikan suapannya dan tersenyum menjawab pertanyaan ibu.

“Bu, sejak kapan ibu memikirkan kapan aku menikah, usiaku baru 26 tahun” Lembut tangan Indah menggenggam tangan Ibu.

“Mas Imam kemarin ke sini dan cerita ke Ibu kalau kamu sudah putus dengan Iwan”

Owalah, jadi kadar gula ibu yang tinggi itu karena mendapat laporan Mas Imam kalau Indah sudah tidak lagi menjalin hubungan dengan teman kuliahnya itu.

“Bu, sepertinya Indah tidak perlu menjelaskan tentang jodoh ke Ibu, Ibu wanita pandai yang bisa memahami itu” tersenyum Indah beranjak, mencium tangan ibu dan mengambil tas serta kunci mobil dari meja.

“Assalamualaikum, Indah pergi bu” pamit Indah yang disambut lambaian tangan ibu.

Pelan mobil putih itu bergerak meninggalkan rumah. Didalam mobil Indah terngiang pertanyaan ibu tentang hubungannya dengan Iwan, tersenyum getir Indah mencoba mengingat ketika seminggu yang lalu Iwan menunggunya di puskesmas, mengajak makan siang dan berkata dengan tegas bahwa hubungan yang sudah dibina selama 6 bulan ini harus berakhir dikarenakan keluarga tidak merestuinya. Tidak ada salam perpisahan juga tidak ada airmata, Indah begitu tegar menghadapi semua itu, peristiwa seperti ini sudah 3 kali terjadi. Setiap kali membina hubungan dengan seorang pria selalu ada kekhawatiran. Dan kekhawatiran Indah selalu menjadi kenyataan. Ternyata profesi dokter saja tidak cukup menjadi jaminan untuk memperoleh pendamping hidup. Indah sadar jodoh adalah rahasia Alloh, dan Indah sangat percaya itu. Didikan ibu yang mengajarkan kemandirian sejak kecil telah membentuk Indah menjadi pribadi yang dewasa dan selalu melihat segala sesuatunya dengan sudut pandang berbeda.

Tiba disekolah yang dimaksud, Indah keluar dari mobil dan disambut seorang pria yang kelihatannya sudah menunggunya.

“Dokter saya kira tidak jadi datang”

“Maaf pak, tadi dirumah ada masalah sedikit jadi agak terlambat ini” Indah tersenyum segan kepada pria yang dari tadi berbicara tanpa memandang wajah Indah.

Pria yang menyambut Indah tadi ternyata adalah Kepala Sekolah di SD kecil yang terletak agak jauh di pinggir kota Semarang ini.

Setelah selesai memeriksa gigi, Indah mohon pamit. Dia ada jadwal kunjungan lagi ke sekolah lain. Indah tipe wanita pekerja keras, ibu telah berhasil mendidik Indah. Tetapi Indah tetaplah seorang wanita normal, dilubuk hatinya ada sedikit kekecewaan untuk hubungan asmaranya. Dalam sujud malamnya Indah sering berdoa untuk dipertemukan dengan jodohnya segera. Di kota kecil ini usia 26 adalah usia sudah siap menikah, kalau lewat itu sudah pasti akan dibombardir dengan pertanyaan yang sama setiap bertemu saudara atau kawan lama.

Hari ini selesai sudah jadwal pemeriksaan, tetapi Indah harus ke perpustakaan daerah untuk mengembalikan novel yang dia pinjam. Mobil putih itu masuk halaman perpustakaan daerah yang luas. Saat keluar itulah Indah melihat Pak Agung, kepala sekolah SD yang pertama ia datangi tersenyum mengangguk kecil kepada Indah.

“Assalamualaikum pak”

“Waalaikumussalam mbak Indah”

“Wah ketemu lagi kita di sini”

“Iya mbak”

Indah tersenyum geli, pak Agung tetap menundukan wajah saat bertegur sapa seperti ini.

“Saya masuk dulu ya pak”

“Iya” jawab pak Agung singkat.

Indah masih tersenyum sambil menuju tangga perpustakaan daerah. Wajah putih bersih pak Agung masih tergambar di ingatannya. Sayang, Indah hanya menganggap pak Agung sama seperti wajah-wajah pasien yang tiap hari dia temui. Indah belum bisa melupakan Iwan, pria yang 6 bulan lalu mengisi relung hatinya. Pria yang seminggu lalu merobek hatinya dengan mengatakan putus bahwa keluarga tidak merestuinya. Ya, tidak merestuinya karena Indah pincang!. Dia lahir sudah dengan kondisi cacat, kaki kanannya lebih kecil dari kaki kiri. Saat Indah berusia 5 tahun, ia ingat sekali bagaimana ayah dan ibunya begitu keras memaksa Indah latihan jalan walau dengan kaki kecil sebelah. Sampai menangis Indah dibuat saat itu, sakit sekali latihan jalan dengan kaki yang tidak proporsional, puluhan kali jatuh, terpelesat, memar sudah jadi bagian hidup Indah. Tapi itu dulu, seandainya saat itu ayah dan ibu Indah tidak memaksanya untuk latihan jalan, mungkin sekarang Indah masih di kursi roda atau memakai kruk ke mana-mana. Tapi berkat latihan keras dari orang tuanya Indah bisa berjalan tanpa bantuan alat jalan. Dan latihan itu juga yang diselingi motivasi kuat dari orang tuanya untuk menanamkan prinsip kemandirian dan tidak mudah menyerah.

Indah dikarunia otak yang pintar, masuk ke fakultas kedokteran, mulus dia jalani. Wajah yang cantik, pintar dan baik hati ternyata tidak cukup untuk membina hubungan yang serius dengan seorang pria. Dan setelah hubungan ke 3 ini kandas, Indah sadar bahwa laki-laki yang dia anggap serius itu ternyata masih melihat kesempurnaan fisik sebagai syarat utama. Dengan berdalih tidak direstui keluarga, satu persatu mereka mulai mengundurkan diri. Mungkin mereka malu kalau punya istri pincang sepertiku begitu Indah sering berpikir untuk setiap hubungannya yang kandas di tengah jalan.

Setahun sudah berlalu, Indah tidak lagi berdinas dipuskesmas, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan spesialis gigi anak di sebuah Universitas di kota Jogjakarta. Indah sudah melepas semua mimpinya untuk segera mendapatkan jodoh, Indah sudah tidak berharap lagi. Dia sudah menyerahkan semuanya pada Yang Diatas.

Minggu pagi di bulan Desember ini Indah ada kegiatan periksa gigi gratis  untuk sebuah acara lustrum di kampusnya. Dia koordinator kegiatan ini, dengan keterbatasan langkahnya tidak menghalangi Indah untuk tetap punya jiwa pemimpin. Dia disukai teman dan mampu menjalankan koordinasi dengan baik. Tidak ada yang berani mengejek Indah, ketika dulu ada yang bergosip tentang kakinya dan Indah mendengar, dia hanya menghampiri teman yang menggosipnya dan bicara pelan, “ Terima kasih untuk mengurangi dosa-dosaku dan selalu bersyukurlah untuk kesempurnaan yang Alloh berikan” Pelan tapi tajam. Sejak saat itu tidak ada yang berani membicarakan kekurangan Indah.

Saat semua dokter-dokter sibuk, ada sepasang mata teduh yang melihat dari kejauhan. Sepasang mata yang setahun lalu menyambut Indah di sebuah SD pinggiran kota Semarang. Indah tidak tahu kalau saat itu diwaktu bersamaan di stand yang lain ada mata yang memandanginya.

“Alhamdulillah, acaranya sukses ndah, selamat untuk kamu sebagai koordinator ya” Salman mengulurkan tangan.

“Selamat untuk semua dong, kan yang kerja semuanya bukan aku saja” Indah menangkupkan tangan menanggapi salam Salman.

“Sip pokoknya” Salman mengedipkan mata dan berlalu.

Indah tersenyum dan duduk melepas penat di kursi panjang. Dia belum beranjak dari stand periksa gigi itu. Salman teman kuliahnya yang semalam berkata terus terang bahwa dia ingin menjalin hubungan serius dengan Indah sedikit mengganggu pikirannya. Salman yang ganteng dan bermasa depan cerah anak dari seorang dokter bedah terkenal di Jakarta. Dan Indah tidak mau serius menanggapi perasaan Salman. Lebih tepatnya Indah trauma dengan 3 kali hubungannya yang kandas. Sekarang mungkin Salman jatuh cinta dengan Indah, tetapi bagaimana dengan keluarganya ? apakah mereka mau menerima menantu yang pincang ? terus dengan Salman mungkin sekarang dia tidak malu berjalan dengan Indah tetapi waktu bisa mengubah semuanya, dan Indah sangat sadar itu pasti terjadi. Indah tidak mau menggantungkan mimpinya lagi.

Dua tahun berlalu dan hari ini Indah menyelesaikan program spesialis gigi anak, dengan wajah cantik, dia diwisuda bersama puluhan dokter lainnya. Wajah ibu terlihat sangat bahagia. Anak kesayangannya telah membuatnya bangga.

“Ndah, hari ini kamu harus ikut ibu pulang” perintah ibu.

“Besok saja bu, Indah harus memberesi kamar dulu dan barang-barangnya belum selesai diangkut”

“Biar masmu Imam yang ngurusi, sekarang kamu ikut pulang Ibu”

“Kenapa bu terburu-buru, ibu tidak ingin jalan-jalan dulu di pantai atau di pasar Bringharjo ?”

“Tidak, kamu harus pulang ikut ibu”

“Baiklah bu, Indah ikut pulang ibu” patuh Indah menjawab.

Pukul 16.00 Indah dan Ibu pulang ke Semarang dijemput mas Imam dan keluarganya. Sepanjang jalan Ibu tampak tidak sabar untuk segera sampai tujuan. Indah yang kelelahan tidur terus sepanjang Jogjakarta-Semarang.

Tiba di Semarang sudah menunjukan pukul 19.00. Ketika Indah sedang mandi, terdengar ketukan pintu.

“Ndah, mandinya buruan ya, ada tamu untukmu” pelan terdengan suara mbak Sinta, istri mas Imam.

“Ya, mbak, sudah selesai ini” Indah menyahut sambil berpikir, siapa tamu malam-malam begini.

Mengenakan piyama biru Indah mengambil kerudung putihnya dan bergegas menuju ruang tamu. Tampak di ruang tamu ada ibu, mas Imam, mba Sinta dan seorang laki-laki yang wajahnya tidak kelihatan karena memunggunginya.

“Indah, sini nak, ada tamu untukmu” ibu berkata dengan lembut

Seribu pertanyaan menggelayut di pikiran Indah, siapakah laki-laki itu. Begitu Indah duduk, debar jantungnya berdebur pelan. Wajah yang tertunduk itu tidak asing bagi Indah. Wajah teduh yang dia jumpai saat periksa gigi di sebuah SD dua tahun yang lalu.

Dengan tatapan tanya, Indah memandang wajah mas Imam dan Ibu untuk meminta penjelasan.

“Begini Indah, Mas Bayu datang kemari karena ingin melamarmu” tanpa basa-basi mas Imam menjelaskan maksud kedatangan pria itu.

Dengan wajah yang bertambah bingung, Indah masih belum sadar situasi yang sedang terjadi di hadapannya. Seingat Indah, dia baru bertemu pria yang ternyata bernama Bayu itu sebanyak dua kali. Pertama waktu kunjungan ke SD untuk periksa gigi dan kedua waktu di perpustakaan daerah, itupun sudah 3 tahun yang lalu.

“Indah, nak Bayu ini, setahun yang lalu datang ke sini untuk mengungkapkan niatnya memperistri kamu, saat itu Ibu tidak bisa menjawab, kesibukan belajarmu menjadi pertimbangan kami saat itu. Sebenarnya, Ibu dan mas Imam tidak keberatan untuk menanyakan langsung ke kamu tapi, nak Bayu melarang, dia bilang, biarkan Indah menyelesaikan dulu belajarnya sampai selesai, dia akan menunggumu. Dan saat inilah waktu yang tepat, genap setahun nak Bayu menunggumu dan malam ini kami menanyakan dan menunggu keputusanmu” Ibu menjelaskan panjang lebar dengan wajah yang sumringah, kelihatan sekali Ibu sudah mengenal  Mas Bayu ini dengan baik.

Hah, jadi setahun ini tanpa sepengetahuanku sudah ada orang melamarku, Indah menerawang dalam angannya.

“Ibu, mas Imam, mas Bayu, malam ini sungguh kejutan untuk saya. Saya tidak bisa menjawab malam ini, ijinkan saya sholat istikharah dulu. Minggu depan saya akan memberi keputusan.

“Sebenarnya dik Bayu ini memberi kamu waktu, sampai sesiapmu untuk memberi keputusan, tapi menurut mas, lebih cepat, lebih baik” mas Imam setengah menggoda menimpali perkataan Indah.

“Baiklah ibu, mas Imam dan mba Indah, saya pamit dulu” pamit Bayu pelan, sambil menjabat tangan mas Imam dan mencium tangan Ibu, pemandangan yang membuat Indah seperti  beku di dalam air es.

Satu Minggu sudah Indah mengisi malam-malamnya dengan sholat Istikharoh meminta petunjuk untuk pria yang baru dua kali bertemu dan sekarang berniat untuk melamarnya. Mungkin pria inilah jodoh dari Alloh, karena Indah mendapatkan perasaan yang mantap untuk menerima pinangan Bayu, tetapi dalam hati kecilnya, Indah takut sekali kalau kakinya yang pincang kelak akan membuat Bayu meninggalkannya. Segera perasaan itu Indah tepis. Kalau alloh memberi petunjuk yang baik, berarti memang Bayu baik untukku, begitu sisi hati kecil Indah yang lain bicara.

Pernikahanpun segera digelar. Indah yang cantik memakai gaun pengantin putih tampak bersinar bersanding dengan Bayu yang berwajah tampan. Wajah ibu tampak bahagia, beliau tidak henti-hentinya menebar senyum seolah selain Indah Ibu adalah wanita paling bahagia dalam pesta itu. Kewajban sebagai orang tua tunai sudah. Amanah almarhum ayah Indah untuk menikahkan putrinya dengan pria yang baik dan bertanggung jawab sudah terjadi. Saat pertama Bayu berkunjung untuk meminang Indah, Ibu tahu bahwa laki-laki yang ada dihadapannya itu adalah laki-laki baik, perasaan seorang ibu juga mengatakan kelak Indah akan bahagia hidup bersama laki-laki ini. Sehingga dengan segenap hati ibu merestui pinangan itu sebelum Indah tahu.

Malam hari ketika pesta usai. Dengan perasaan yang berdebar-debar Indah menunggu suaminya yang sedang berwudhu. Selesai berwudhu mereka menunaikan sholat sunah dua rakaat sebelum menunaikan ibadah bagi sepasang suami istri. Setelah sholat, Indah untuk pertama kalinya memandang suaminya dengan pertanyaan yang sudah lama ingin dia tanyakan.

“Mas Bayu, apa yang membuat mas yakin untuk menikahiku” Indah menatap suaminya.

Bayu tersenyum dan memandang dengan penuh cinta istrinya. Setelah mengecup kening Indah, Bayu menatap dalam mata Indah.

“Karena Alloh aku mencintaimu” singkat Bayu menjawab.

Indah tidak puas dengan jawaban itu.

“Bagaimana dengan kakiku yang pincang” lirih Indah bertanya.

“Hari disaat kau datang ke SD waktu itu, malam-malam sebelumnya aku selalu berdoa untuk dipertemukan dengan wanita yang kelak akan mendampingiku bersama-sama beribadah untuk mencapai jannahNya kelak. Saat kau datang, entah kenapa perasaanku tidak menentu bahkan kau hadir di mimpiku malam itu. Akupun berdoa lagi. Ya Alloh jika memang ini jodohku pertemukan aku lagi dengannya. Dan Alloh mengabulkan doaku lagi, kita secara tidak sengaja bertemu di perpustakaan daerah. Sejak itu aku mantap bahwa kaulah bidadari yang diturunkan Alloh untuk menjadi pendampingku. Akupun langsung mencari informasi semua tentangmu. Setelah itu aku memberanikan diri untuk melamarmu lewat ibu. Aku tidak berani langsung kepadamu, karena khawatir kau menolakku, apalagi kau seorang dokter berpendidikan tinggi dan aku hanyalah seorang guru SD.

Bayu menjelaskan panjang lebar sambil menatap mesra Indah.

“Bagaimana dengan kakiku” Indah tetap menuntut jawaban.

“Ketika aku mencintai karena Alloh, maka aku mencintaimu dari ujung kaki sampai ujung rambut, mencintai setiap amarah dan keluh kesahmu karena kau adalah jawaban dari doa-doaku” selesai menjawab pertanyaan Indah, sekali lagi Bayu mengecup kening Indah.

Dan malam itu, bulan bersinar sangat indah seperti merasakan perasaan dua manusia yang berbahagia bersatu karena cinta mereka terhadap Alloh SWT.

Berita Terkait