Panama Papers membuat publik geram. Pasalnya dokumen yang memuat bukti penyelundupan pajak senilai triliunan dolar tersebut memuat beberapa perusahaan dan nama pengusaha besar di Indonesia. Total data yang berhasil bocor sebesar 11,5 juta dokumen dihimpun sejak 40 tahun lalu dari 1977 hingga 2015. Terlepas dari nama-nama penting baik pengusaha, bankir, politikus maupun pemain sepak bola, ada satu catatan penting. Selama ini Pemerintah kesulitan untuk mengakses data rekening WNI di luar negeri.
Praktik offshore atau membuat perusahaan di luar negeri untuk mengurangi pajak sebenarnya bukan berita baru. Fenomena Panama Papers dengan Mossack Fonseca hanya membuka tabir yang selama ini tabu di kalangan jasa keuangan. Mossack Fonseca merupakan nama perusahaan yang dijadikan kedok dari ratusan ribu perusahaan lain. Beberapa media bahkan menyebut kasus Panama Papers sebagai ‘Crime of the Century’ karena implikasinya yang besar terhadap pengemplangan pajak dan praktik ilegal lainnya.
Panama Papers juga bak pisau bermata ganda. Selain membuka jalan untuk memulangkan dana warga negaranya di luar negeri, Panama Papers juga bisa digunakan untuk mencari rekam jejak dana hasil korupsi. Hal ini terkait temuan terduga koruptor yang kini kasusnya tengah diselidiki yaitu Riza Chalid dan Djoko Sugiarto.
Sebenarnya momentum Panama Papers yang sudah terlanjur beredar di publik bisa dijadikan jalan bagi Pemerintah untuk memulai program tax amnesty. Dari bocoran Panama Papers sendiri terkuak uang pengusaha Indonesia yang lari ke tax haven Panama. Jumlahnya belum bisa diperkirakan secara detail karena laporan sedang dipelajari oleh Pemerintah. Namun estimasi awal lebih dari 2.600 nama-nama perorangan terlibat. Jumlah yang besar tersebut dapat dijadikan target tax amnesty. Beberapa waktu yang lalu publik juga dibuat berang terkait statemen Menteri Keuangan bahwa ada lebih dari 2.000 perusahaan asing yang tidak membayar pajak.
Sekarang bagaimana caranya Pemerintah melalui Panama Papers dapat membawa kasus pengemplangan pajak ke ranah internasional. Negara-negara yang selama ini dianggap tax haven tidak dapat menghindar lagi mengakui bahwa ada uang haram yang seharusnya dikembalikan ke negara asalnya. Berdasarkan Panama Papers kurang lebih 214.488 nama perusahaan offshore terbukti menyembunyikan kekayaannya.
Tax amnesty kiranya tidak lagi menunggu kegaduhan di DPR. Pengesahan RUU Tax amnesty yang berlarut-larut justru kontra produktif. Kecuali tujuannya memang untuk melindungi uang haram WNI di luar negeri. Oleh karena itu ganjalan utama di DPR harus segera di selesaikan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah terbukanya akses informasi bank atau Automatic Exchange of Information diantara negara G20 dan OECD. Tidak akan ada lagi dana yang bisa disembunyikan untuk kepentingan perpajakan. Semua serba transparan. Namun alangkah baiknya sebelum diberlakukan tahun 2018 kita sudah bisa memaksa dana WNI di luar negeri untuk kembali ke Indonesia.
Potensi tax amnesty pun tak terbilang kecil yaitu Rp60-80 triliun. Dengan dana tersebut setidaknya kesehatan fiskal Negara dapat terbantu. Khususnya untuk mengurangi utang. Yang terpenting saat ini adalah mempersiapkan design kebijakan serta memperkuat data objek pajak dan intelejen pajak. Karena selama ini harus diakui pemungutan pajak sifatnya masih pasif. Intelejen pajak pun belum bekerja maksimal. Panama Papers membuka gerbang intelijen pajak yang lebih canggih.
Sources : http://www.neraca.co.id/article/67820/panama-papers