Tak kenal maka tak cinta

Perpustakaan…

Apa yang pertama kali terlintas dikepala mendengar ini

  1. Rak buku…yes
  2. Tumpukan buku…yes
  3. Suasana sepi dan sedikit muram…yes
  4. Pegawai perpustakaan yang jutek dan jarang tersenyum… yes

Itu adalah gambaran perpustakaan dikepala saya sejak sekolah, kuliah sampai bekerja. Padahal saya orang yang suka membaca tetapi kenapa saya jarang ke perpustakaan. Terakhir ke perpustakaan adalah saat menyelesaikan skripsi, itupun yang dicari buku buku penunjang landasan teori. Tidak pernah mampir ke rak buku fiksi.

Saat SMU pernah masuk ke perpustakaan, itupun karena ruangannya bersebelahan dengan kelas 7D waktu itu. Ukuran pernah masuk perpustakaan itu indikatornya setahun 1-3 kali, waktu yang lain digunakan untuk makan dikantin dan ngerumpi tidak jelas dengan teman-teman. Saat itu yang rajin ke perpustakaan adalah anak-anak pintar dengan kacamata tebal dan jarang tersenyum kalau ketemu.

Hingga pada akhirnya, suratan takdir yang membawa saya hingga hari ini untuk menempati dan beruang kerja diperpustakaan, tempat yang saya tidak pernah tertarik sebelumnya. Ukuran perpustakaan ini cukup luas dan representative sebenarnya untuk disebut ruangan perpustakaan tetapi saat saya masuk yang ada hanyalah tumpukan buku paket dan suasana muram tadi. Kondisi perpustakaan SMPN 8 Salatiga memang kacau pada awalnya karena tidak ada pustakawan yang mengurusi.

Yang ada adalah guru yang diberi tugas sampingan sebagai kepala perpustakaan sekaligus sebagai pustakawannya, jadi perpustakaan buka kalau bu guru sedang tidak mengajar, kalau bu guru mengajar tentu saja perpustakaannya tutup. Jadi bisa dikatakan saat itu perpustakaan tidak ubahnya sebagai gudang buku. Kondisi seperti itu saya alami kurang lebih 2 bulan sejak kepindahan saya di perpustakaan, hingga akhirnya lowongan kerja sebagai  pustakawan terisi.

Disinilah keberuntungan saya dimulai, saya ada yang membantu untuk membenahi perpustakaan ini mengubahnya menjadi tempat yang menyenangkan dan menjadi tujuan anak-anak untuk membaca buku-buku yang menarik. Kami pun bekerja keras, saat itu bisa dibilang babat alas untuk membenahinya. Masih saya ingat jelas Mas Eko, pustakawan pertama SMPN 8 Salatiga, membawa sendiri Cling dan lap untuk menggosok jendela-jendela kaca.

Membenahi rak-rak buku dan mengelompokannya sesuai klasifikasi yang benar. Dan acara geret menggeret lemari sebesar gaban dilakukan Mas Eko sendirian ditengah waktu mengajar saya. Download dan memasang aplikasi Senayan juga dilakukan secara otodidak padahal kalau bekerjasama aka membayar bisa 3 jutaan.

Selain urusan lemari dan buku, saya juga membuat banyak sekali proposal pengajuan bantuan buku. Dari beberapa yang diajukan, alhamdulilah kami mendapatkan dari beberapa pihak. Sekarang perpustakaan SMPN 8 Salatiga jauh lebih ramai dikunjungi anak. Dalam sehari bisa ada 20-30 peminjaman, belum lagi yang dibaca diruangan perpustakaan. Belum ramai memang untuk ukuran sekolah yang muridnya 680 tetapi ada peningkatan untuk jumlah pengunjungnya.

Perpustakaan kami memang belum pernah menang lomba, tapi itu tidak penting. Menjadi bagian dari perpustakaan sekolah pinggiran adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Berawal dari rasa tidak suka sekarang menjadi jatuh cinta. Bisa melayani anak-anak dengan kondisi yang terbatas membuat satu semangat untuk terus mengembangkan buku koleksi perpustakaan.

Bagi sebagian orang mungkin ini bukan prestasi yang membanggakan, tetapi bagi saya bisa berada didalamnya untuk ikut berperan dalam pengembangannya adalah sesuatu yang membanggakan, menjadi saksi untuk antusias pemustaka saat meminjam buku adalah kepuasan bagi saya. Disinilah saya belajar juga tentang kehidupan bahwa apa yang kita rasa buruk belum tentu seperti itu adanya. Alloh selalu memberikan yang terbaik untuk umatNya. Dan saat ini yang terbaik adalah perpustakaan.

Berita Terkait