Mother On The Way

Bukan galau hanya curhat karena sedikit tersentil oleh ucapan sesama ibu temannya Bari. Beberapa hari yang lalu kebetulan punya kesempatan untuk menjemput Bari di TK, biasanya yang menjemput pulang sekolah itu Eyang Kakung atau suami.

Terjadi percakapan pendek “ Wah sibuk sekali ibu Bari ini, ngurusin anak orang malah anak sendiri tidak diurusi “

Waduh, vonis yang menyakitkan ini.

“Maksudnya saya tidak ngurusi Bari apa ya bu”

“Itu loh tidak pernah antar jemput Bari dan tidak pernah ikut pengajian sekolah”

FYI pengajian sekolah dilaksanakan tiap akhir bulan hari Sabtu jam 09.00 (Dan itu adalah waktu dimana saya masih mengajar sampai pukul 12.20)

Owalah, jadi ukuran perhatian ke anak versi ibu ini adalah rajin antar jemput anak sekolah dan aktif dalam pengajian sekolah dan mungkin aktif juga dalam kepengurusan arisan di sekolah.

Baiklah… saya adalah ibu yang tidak perhatian ke anak kalau ukurannya itu, walaupun sering saya antar sekolah Bari dan kebetulan tidak pernah bertemu dengan si ibu itu.

Lupakan masalah itu dan berganti topik tentang Career Woman dan Housewife

Emang dosa ya mempunyai peran Career Woman, kalau menurut Ustadz Felix Siauw dalam sebuah postingannya, seorang ibu yang bekerja 8 jam sehari dan hanya punya waktu 3 jam dengan anaknya itu disebut ibu atau karyawan ?

Kalau saya bekerja (hanya) 7 jam sehari hehehehe..masih ngeles juga.

Saat ini  media sosial begitu transparan dalam mengedarkan informasi, hampir tiap hari bisa kita temui tentang berbagai postingan Parents Guide. Membahas tentang bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar versi si Penulis. Saya katakan baik dan benar versi penulis karena kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan sebenarnya si Penulis ini, apakah dia sudah membuktikan semua teori yang dia tulis.

Belum selesai postingan tentang Parents Guide, timeline sosial media ramai lagi dengan postingan Career Woman vs Housewife. Semua mengemukakan alasan masing-masing tentang kebaikan dan kelemahannya.

Menjadi Housewife adalah profesi yang sangat mulia, bekerja dalam rumah tangga  24 jam sehari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Demikian juga dengan Career Woman, bisa membagi waktu antara mengasuh anak dan bekerja. Tidak perlu saling menyalahkan, semua ada konsekuensi yang harus dibayar.

Housewife mungkin mempunyai konsekuensi jaringan relasi yang terbatas dan Career Woman konsekuensinya adalah mendelegasikan sebagian urusan domestik ke asisten rumah tangga. Urusan domestik ini tidak termasuk mendampingi anak-anak belajar. Bahkan bagi saya urusan memotong kuku anak-anak adalah hak prerogatif saya selain mendongeng sebelum tidur dan mengaji bersama lepas sholat Magrib.

Semua keluarga mempunyai cara dan strategi untuk mengasuh buah hatinya, apakah cara yang kita pakai itu benar dan salah itu adalah wewenang keluarga itu untuk mengevaluasinya, bukan kita, orang luar yang tidak pernah tahu tentang seluk beluk keluarga yang bersangkutan.

Melihat keluarga yang taat beragama dan anak anaknya hafal Qur’an tentu membuat keluarga lain merasa ingin seperti itu. Berusaha mencari tahu bagaimana ayah bundanya bisa begitu hebat mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak soleh dan solehah.

Tetapi kalau rasa ingin menirunya membuat ibu menyalahkan ayah yang kurang ilmu agamanya yang berujung pada perselisihan suami istri karena ibu mulai membandingkan dengan ayah sebelah rumah yang lebih taat beribadah atau menyalahkan anak yang susah diatur dan mulai membandingkan dengan anak sebelah rumah yang hafal Qur’an, itu sudah tidak betul lagi.

Anak dilahirkan dengan kemampuan dan potensi yang berbeda, jangan pernah membanding-bandingkan dengan anak yang lain.

Lagian kitakan hanya tahu luarnya saja. Perjuangan ayah bunda tersebut tentu berat sekali. Sudahkah kita seIstiqomah mereka. Menarget setoran hafalan ke anak yang otomatis kita sendiri harus sudah hafal bukan ?

Mungkin anak kita susah sekali menghafal tetapi ternyata dia pintar menggambar, kenapa tidak potensi itu yang ditajamkan. Yakinlah, bahwa keluarga kita tidak harus menjadi sama dengan pola pengasuhan keluarga yang lain.

Belum selesai dengan isu Parents Guide muncul isu Homeschooling, tentang hebatnya teori Homeschooling dibandingkan dengan sekolah formal yang mengatakan tentang pembatasan potensi anak apabila disekolahkan disekolah formal.

Sudahkah kita berpikir ketika kita sudah mantap untuk Homeschooling maka kita harus membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek untuk anak-anak kita termasuk persiapan masa depan mereka karena kita hidup dinegara yang regulasi pendidikannya masih terbagi dengan pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Termasuk syarat masuk Universitas di Indonesia harus punya ijazah mulai SD, SMP, SMU

Okelah itu semua bisa diperoleh lewat Kejar Paket, tapi jangan dilupakan bahwa rata-rata orang tua yang melaksanakan homeschooling untuk anak-anaknya adalah orang tua yang sudah mapan dan mantap perekonomiannya. Mereka sudah mempunyai blueprint sampai 20 tahun kedepan tentang masa depan anaknya.

Sudahkah kita seprofesional itu tentang masa depan pendidikan anak-anak kita ? Kalau sudah, bagus sekali dan segera laksanakan homeschooling, kalau baru sebatas gundah gulana seperti anak SMP mencari jati diri, saya sarankan sekolah formal saja, daripada buah hati menjadi korban kegalauan orang tuanya.

Resah tentang efek teman sekolah membawa pengaruh buruk ? Justru itu tantangannya, orang tua yang baik adalah orang tua yang menjadi sekolah pertama dan selamanya bagi buah hati. Dimanapun anak belajar selama kita mendampingi dengan penuh perhatian dan kasih sayang dan membekalinya dengan ilmu agama yang kuat insya Alloh dia akan tumbuh menjadi pribadi yang berprinsip dan tidak mudah terpengaruh hal hal yang buruk.

Tetap belajar untuk menjadi ibu dan orang tua yang baik itu sudah cukup, karena bagi buah hati kita, ayah dan bundanya adalah orang terbaik yang mereka kenal sejak lahir sampai sekarang.

Salam sayang

Berita Terkait